Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Add to Technorati Favorites

Powered by Blogger

Senin, 01 September 2008

Kompas 11-Apr-08: Yang Muda, yang Bertani (Kulon Progo, Yogya)


Yang Muda, yang Bertani


KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Pemuda di Desa Garongan, Panjatan, Kulon Progo, Senin (31/3), menanam cabai di lahan asir.
Jumat, 11 April 2008 | 00:44 WIB

Oleh Ahmad Arif/Sri Hartati Samhadi/ Maria Hartiningsih

Empat tahun merantau di Pekanbaru dan Malaysia tanpa hasil, Widodo (30) akhirnya memilih pulang ke desanya di Garongan, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Widodo menjadi petani, pekerjaan yang tengah menjadi tren di desanya. ”Merantau hanya tambah umur. Tak ada hasil,” kata Widodo, tamatan sekolah teknik menengah di Kulon Progo ini.


Saat pulang kampung Widodo sempat mendapat tawaran bekerja di proyek pembangunan jalan di Banguntapan, Bantul. Upah yang ditawarkan satu bulan mencapai Rp 800.000 ditambah uang makan Rp 25.000 per hari. Namun, pekerjaan itu pun ditolaknya.


”Lebih untung menjadi petani di lahan pasir,” kata Widodo dengan bangga.


Dengan lahan garapan seluas 500 meter yang ditanami cabai, Widodo bisa memperoleh hasil 1-1,5 kuintal cabai sekali petik. Padahal, satu musim tanam selama lima bulan bisa 15-20 kali petik. Jika harga cabai Rp 7.000 per kilogram (kg), selama satu musim tanam Widodo bisa memperoleh sedikitnya Rp 10,5 juta.


Di sela-sela cabai Widodo biasa menanam sawi yang hasilnya Rp 2 juta-Rp 2,5 juta, cukup untuk membiayai ongkos produksi cabai dan sawi sekaligus.

Sutik Haryanto (26), sebelumnya juga merantau selama dua tahun di Riau, sebelum kemudian pulang ke Garongan menjadi petani lahan pasir. Lahan garapannya seluas 1.000 meter, cukup untuk membiayai istri dan satu anaknya.


”Lebih enak begini. Di kampung sendiri, dekat sama anak-istri. Hasil dari bertani juga cukup, bahkan lebih besar dibandingkan saat menjadi satpam di Riau,” kata Sutik, tamatan sekolah menengah atas (SMA) ini.


Tak hanya Widodo dan Sutik, ribuan pemuda sepanjang pesisir Kulon Progo yang semula merantau kini memilih pulang menjadi petani. Lahan pasir telah menyedot minat pemuda desa untuk kembali ke kehidupan petani.


”Dari 15-an ribu petani lahan pasir di Kulonprogo, 70 persennya pemuda,” kata Sukarman, Sekretaris Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) Kulon Progo.


Rasional dan gigih


Selain di Kulonprogo, petani-petani muda juga muncul di Kabupaten Sleman. Di Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, gerakan petani muda membentuk gabungan kelompok tani (gapoktan) yang terdiri dari 30 kelompok tani (KT). Dan setiap KT ini beranggotakan 10-30 petani.


”Sebanyak 80 persen anggota gapoktan adalah pemuda, usia antara 20 hingga 40 tahun. Rata-rata tamatan SMA. Bahkan ada yang lulus sarjana,” kata Bambang Sugeng, Ketua II Gapoktan Pakembinangun.


Wasiatno (30), Sekretaris KT Rukun Dusun Padasan yang tergabung dalam Gapoktan Pakembinangun, mengatakan, menjadi petani bukanlah pilihan keterpaksaan. Tetapi, memang melihat, pertanian masih menguntungkan jika dikerjakan dengan baik dan rasional. ”Prinsipnya, jadi petani harus mandiri dan kreatif,” kata tamatan SMA ini.


Kemandirian yang dimaksud Wasiatno meliputi penyediaan bibit, pupuk, obat-obatan, hingga pemasaran. Mereka tidak perlu membeli bibit padi karena memilih menanam padi varietas lokal, seperti rojolele, beras merah, menur, dan menthik.


Untuk pupuk, mereka menggunakan pupuk kandang dan kompos yang bisa dibuat sendiri dari sampah organik yang berlimpah di desa. ”Kami masih terus belajar untuk mengendalikan hama secara organik, tanpa pestisida,” kata Wasiatno.


Berbeda dengan orang tua mereka yang kebanyakan fanatik menanam padi, para petani muda ini juga sering kali bereksperimen menanam berbagai komoditas pertanian. ”Kami juga menanam cabai, salak, semangka, selada, sawi, dan tanaman-tanaman lain yang menguntungkan,” kata Gunawan (36), anggota KT Rukun, yang sarjana pendidikan ini.


Di Dusun Ngepas Lor, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, juga terbentuk Kelompok Tani Akur Muda yang beranggota 34 petani berusia rata-rata di bawah 30 tahun. Pemuda tani di dusun ini menanam cabai, kacang panjang, tomat, dan bawang merah.


Tak jarang mereka mencoba-coba tanaman baru dengan hanya membaca buku dan mempraktikannya di sawah. Kelompok Tani Prasetya Muda Dusun Sempon, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, lebih ekstrem lagi karena semua anggota kelompoknya sepakat tidak menanam padi.


Ratusan anak muda Sleman itu memilih profesi petani sebagai jalan hidup, bukan karena pelarian. Bukti keseriusan mereka adalah keberanian menyewa lahan. Tidak semua petani muda ini memiliki sawah warisan orangtua. Banyak orangtua mereka yang hanya petani penggarap.


Petani-petani muda ini pun ”nekat” menyewa lahan untuk ditanami aneka komoditas pertanian. Misalnya Wasiatno, dia menyewa lahan seluas 2.000 meter persegi dengan nilai Rp 1,5 per tahun. ”Setelah ditekuni ternyata hasilnya lumayan,” jelas dia, yang dari bertani sudah bisa membeli sepeda motor dan lahan seluas 1.000 meter.


Di Kulon Progo petani-petani muda terbukti gigih karena sanggup mengolah pasir yang panas dan kering menjadi lahan pertanian yang subur. Mereka harus menyiram tanamannya minimal sehari sekali. Pemuda tani di Kulon Progo juga membentuk koperasi untuk memasarkan sendiri hasil pertanian mereka ke daerah lain.


Mereka mengombinasikan pertanian dengan peternakan sapi. Kotoran sapi menjadi pupuk organik bagi tanaman mereka, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. ”Selain memiliki sepeda motor, petani di sini rata-rata punya sapi sendiri,” kata Widodo.


Ketakutan bahwa generasi muda akan meninggalkan sektor pertanian rupanya tak selalu benar. Setidaknya itu yang ditunjukkan petani muda di pesisir selatan Kulon Progo dan pemuda di Sleman, yang menunjukkan cara baru dalam bertani.


Namun, yang meresahkan justru sikap pemerintah yang hendak memangkas tunas-tunas muda itu. Di Kulon Progo, Pemerintah Kabupaten dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ngotot hendak menggusur pemuda-pemuda tani lahan pasir itu untuk digantikan perusahaan tambang pasir besi dari Australia.


”Aneh, bukannya membantu menyejahterakan rakyat, tetapi penguasa sekarang justru mengganggu usaha rakyatnya sendiri,” keluh Widodo....

Selasa, 19 Agustus 2008

Pemuda Pemuda Yang Bangga Jadi Petani Generasi Baru

PEMUDA berkemeja putih bersih, berjam tangan, dan bersepatu bot itu sibuk mencabuti rumput-rumput kecil di sekeliling tanaman cabai, pada suatu siang yang terik. "Setiap hari saya ke sawah untuk merawat tanaman cabai. Saya harus tahu apa yang terjadi pada tanaman cabai saya, tidak boleh lengah sedikit pun. Menjadi petani itu harus telaten," kata Wiyatno (23), petani muda dari Dusun Kaliwanglu, Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

ITULAH keseharian Wiyatno yang sejak satu setengah tahun lalu bertekad jadi petani. Lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) itu sebelumnya bekerja selama empat tahun sebagai pramuniaga, salesman, dan kuli bangunan di Jakarta. Bagi Wiyatno, Jakarta sudah sumpek. Walau kerja keras dari pagi sampai malam, nyatanya tetap tidak cukup. Oleh karena itu, dia memutuskan pulang kampung.

"Saya lahir sebagai anak petani. Apa salahnya kalau saya juga jadi petani," kata pemuda yang bersama 30 temannya kemudian membentuk Kelompok Tani Tunas Muda.

Eko Setiawan (27), pemuda lain dari Dusun Sempon, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, juga menetapkan niat jadi petani. Awalnya dia mengaku sulit memutuskan untuk jadi petani karena selama ini petani dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bergengsi. "Setelah saya coba, ternyata pertanian juga menguntungkan. Prek dengan gengsi," kata pemuda yang pernah bekerja lima tahun di perusahaan karoseri mobil di Jakarta itu.

Di dusunnya, Eko membentuk Kelompok Tani Prasetya Muda yang beranggotakan 16 pemuda lajang, yang kebanyakan lulusan SLTA dan tiga di antaranya lulusan sarjana. Mereka semua berkomitmen menjadikan pertanian sebagai jalan hidup.

Di Dusun Ngepas Lor, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, juga terbentuk Kelompok Tani Akur Muda yang beranggota 34 petani berusia rata-rata di bawah 30 tahun.

Menurut penuturan Aji Waluyo (28), lulusan sebuah akademi pariwisata yang menjadi Ketua Kelompok Tani Akur Muda, anggota kelompok taninya yang sudah menikah baru enam orang. Sebagian besar adalah lulusan SLTA dan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), sedangkan sisanya masih kuliah dan sarjana.

Wiyatno, Eko, dan Aji adalah potret ratusan pemuda desa di Sleman yang telah menetapkan niat menjadi petani. Jakarta, bagi mereka, tidak lagi menarik jika dibandingkan dengan hidup makmur di dusun.

Ratusan anak muda Sleman itu memilih profesi petani sebagai jalan hidup bukan karena pelarian. Bukti keseriusan mereka adalah pembentukan kelompok-kelompok tani yang beranggotakan anak-anak muda di sejumlah kecamatan di Sleman. Sejak tahun 1999 telah terbentuk 25 kelompok tani muda-yang beranggotakan ratusan orang-dari 448 kelompok tani di Sleman dengan luas lahan yang mereka usahakan sekitar 100 hektar.

Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman Ir Achmad Yulianto menilai gerakan petani-petani muda yang muncul di 11 kecamatan dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman itu mencengangkan, di tengah keadaan pertanian padi di Yogyakarta, khususnya di Sleman, yang mengalami kemunduran. Gerakan petani muda itu mulai melembaga di Turi, Cangkringan, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Kalasan, Seyegan, Minggir, Moyudan, Godean, Berbah, dan Kalasan.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), selama satu dekade terakhir penyusutan lahan pertanian di DIY rata-rata 0,5 persen per tahun. Jika pada tahun 1994 luas sawah di DIY adalah 61.151 hektar, kini luas sawah tinggal 58,07 hektar. Sleman merupakan daerah dengan area penyusutan sawah yang paling luas, yaitu rata-rata 178 hektar per tahun.

Penyusutan luas sawah ini berdampak pada menurunnya luas panen dan produksi DIY yang dalam kurun waktu empat tahun terakhir menurun rata-rata 1,05 persen per tahun, sedangkan luas panen padi merosot rata-rata 1,64 persen per tahun. Jika kemerosotan ini terus terjadi, masa depan pertanian di Yogyakarta patut dicemaskan.

BERBEDA dengan orangtua mereka yang kebanyakan fanatik menanam padi, para petani muda bereksperimen menanam berbagai komoditas pertanian. Kelompok Tani Akur Muda menanam cabai, kacang panjang, tomat, dan sekarang sedang bereksperimen menanam bawang merah.

"Kami melihat tanaman mana yang paling menguntungkan, itu yang kami tanam. Tak jarang kami mencoba-coba tanaman baru dengan hanya membaca buku dan mempraktikannya di sawah. Pokoknya, yang ditanam tidak harus padi," kata Aji Waluyo.

Kelompok Tani Tunas Muda mengembangkan cabai, tomat, kacang panjang, dan tanaman anggur, sedangkan Kelompok Tani Prasetya Muda lebih ekstrem lagi karena semua anggota kelompoknya sepakat tidak menanam padi. "Kami memilih menanam semangka, melon, cabai, dan tomat. Pokoknya bukan padi," kata Eko.

Menurut Eko, tanaman padi tidak lagi menguntungkan. Jika lahan seluas 1.000 meter persegi ditanami semangka, bisa menghasilkan keuntungan bersih rata-rata Rp 3 juta dalam tiga bulan, sedangkan padi hanya menghasilkan Rp 1 juta dalam jangka waktu yang sama.

Achmad Yulianto mengakui, di Sleman kini terjadi peralihan besar-besaran. Petani padi menjadi petani berbagai tanaman lain atau berkiprah di bidang perikanan karena hal itu dinilai lebih menguntungkan dan risiko gagal panennya lebih kecil dibandingkan dengan tanaman padi. Dan, pelopor peralihan itu adalah petani muda. "Mereka bertani dengan perhitungan-perhitungan yang lebih rasional sehingga berani memilih tanaman yang menguntungkan," katanya.

Menurut Achmad Yulianto, pemasaran hasil hortikultura petani-petani muda di Sleman itu juga masih sangat terbuka. Eko Prasetyo juga mengakui bahwa hasil panenan mereka selalu habis diborong pembeli.

Petani-petani muda yang rata-rata tidak memiliki lahan sendiri itu juga berspekulasi untuk menyewa lahan sampai di luar desa, bahkan ke kabupaten lain dengan cara iuran. Kelompok Tani Akur Muda, misalnya, menyewa lahan sekitar lima hektar di Kulon Progo dengan harga sewa tanah Rp 500.000 per 1.000 meter per tahun, sedangkan lahan-lahan sawah orangtua mereka tetap ditanami padi. "Daripada ribut dengan orangtua yang masih ngotot tetap mau tanam padi, lebih baik kami menyewa sendiri. Risiko kami tanggung sendiri," kata Aji Waluyo.

DENGAN kesungguhan dan cara pandang baru terhadap pertanian, anak-anak muda itu membuktikan bahwa petani adalah profesi yang menjanjikan. Selama dua kali masa tanam yang lalu, Wiyatno mengaku mendapat untung Rp 9 juta dari tanaman cabai yang ditanam di lahan sewaan seluas 6.000 meter.

Menurut Wiyatno, kerja sebagai petani juga tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan menjadi kuli batu di Jakarta. Dalam sehari Wiyatno mengaku hanya perlu ke sawah pada pagi dan sore, sedangkan pada siang hari bisa beristirahat.

Perbaikan ekonomi yang dialami petani-petani muda itu membuat pemuda-pemuda kampung lain yang masih merantau ke luar desa pulang kampung. "Banyak pemuda asli sini yang sebelumnya merantau ke Jakarta dan Malaysia kini pulang kampung dan menjadi petani," kata Kepala Dukuh Ngepas Lor Marwanto (35).

Menurut Marwanto, dulu pemuda-pemuda di dusunnya setiap malam banyak yang nongkrong dan menimbulkan keonaran. Tetapi, sekarang jumlahnya sudah jauh berkurang karena banyak pemuda yang jadi petani sehingga mereka tak sempat lagi begadang.

Inilah revolusi baru pertanian di Sleman yang mungkin akan memberikan energi baru bagi pertanian di negeri ini. Petani-petani muda itu telah memahatkan harapan segar bagi pembangunan di desa.

Ketakutan bahwa generasi muda akan meninggalkan sektor pertanian rupanya tak terlalu benar. Yang mereka tunjukkan adalah cara baru memandang masalah pertanian yang memberi harapan. Hal itu tentunya membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah yang mampu membuat petani tidak dirugikan, tidak dianaktirikan....

URL Source: Ngepas link

Ngepas

Udah pake banting2 tulang
Sampe sakit pinggang belakang ..
Gara2 nyari yang namanya uang
Susahnya mak bukan kepalang

Maksa sampe ngangkang mengangkang
Boro2 dapet setumpuk uang
Malah kaya kena tendang di slangkang
Sampe rebah jatuh telentang

Masih aja ngepas
Ngepas pas-passan..

Gaji rakyat mulai dikit2 baik
Tapi harga2 naik
Mau pinjam ngeri sama bunga bank
Bisa2 malah tambah banyak utang

Udah jatuh ketimpa tangga
Mr.Govermant masih jaga2
Gara2 soros yahudi belis..
Boro2 nanti devisa habis

Tetep aja ngepas ..
Ngepas pas2san..

(original written by: slank lyric album tujuh)